Kenapa harus coba rute anti mainstream?
Aku pernah capek jadi turis yang foto di spot yang sama dengan ratusan orang. Jadi suatu hari aku memutuskan: cukup. Mulai dari situ, aku cari destinasi yang nggak terlalu dipromosikan, yang masih naturenya terasa asli — bukan hanya background Instagram. Rasanya beda. Lebih sepi, lebih murah, dan seringkali lebih ramah. Bukit kecil di ujung desa bisa jadi spot matahari terbenam yang lebih magis daripada pantai populer yang penuh kursi plastik.
Perjalanan anti mainstream juga memaksa aku berinteraksi dengan penduduk lokal. Dari mereka aku dapat rekomendasi makan enak, penginapan murah, hingga jalur trekking aman yang nggak ada di peta wisata. Kalau kamu suka cerita perjalanan yang nyeleneh, coba deh keluar dari rutinitas rute klasik. Kalau butuh inspirasi rute, aku sering cek jtetraveltips untuk rekomendasi tempat yang jarang dibahas blog mainstream.
Travel hacks yang selalu aku pakai
Ada beberapa trik simpel yang selalu aku gunakan supaya perjalanan tetap hemat tanpa kehilangan pengalaman. Pertama, bawa botol minum refill dan alat saring air kecil. Banyak pedagang minuman botol kecil di jalan, dan itu cepat bikin kantong bocor. Kedua, pilih transport malam untuk menghemat penginapan; naik bus malam itu sering hemat dan waktu efektif. Ketiga, makan di pasar lokal; selain murah, rasanya otentik.
Trik lain: pakai aplikasi peta offline seperti Maps.me, simpan tiket bus lokal di screenshot, dan jangan ragu nego harga transportasi lokal (tapi tetap sopan). Untuk penginapan, aku sering mix antara homestay sederhana dan camping kalau aman. Dan selalu bawa powerbank plus kabel cadangan — listrik itu mahal di penginapan terpencil.
Itinerary hemat 5 hari ke destinasi unik (contoh)
Oke, ini itinerary nyata yang pernah aku jalani: 5 hari ke kepulauan kecil yang belum ramai. Aku mulai dari kota besar pakai bus malam, sampai pagi di pelabuhan. Hari pertama kuhabiskan keliling desa, makan di warung lokal, dan tidur di homestay ramah harga (Rp 80–120 ribu per malam). Hari kedua menyewa perahu lokal bareng rombongan kecil (bagi biaya jadi murah) untuk island hopping ke pantai sepi dan snorkeling di spot yang jarang dikunjungi.
Hari ketiga aku hiking ke bukit terdekat untuk sunrise — jalan setapak sederhana, tiket masuk cuman biaya parkir + donasi kecil. Hari keempat aku ikut nelayan setempat pergi memancing pagi-pagi lalu belajar memasak hasil tangkapan di homestay. Malamnya ada obrolan santai dengan penduduk tentang sejarah pulau. Hari kelima aku kembali ke kota, pakai bus siang, tiba sore hari. Total pengeluaran kasar? Transport + akomodasi + makan + beberapa aktivitas sekitar Rp 800 ribu – Rp 1,2 juta, tergantung gaya.
Catatan penting: bagi biaya aktivitas dengan pengunjung lain. Sewa perahu, guide, atau motor bisa jauh lebih murah kalau tidak solo pay. Jangan malu bertanya harga, tapi tetap hormat pada nilai lokal.
Panduan praktis untuk backpacker pemula
Kalau baru mau coba backpacking hemat, mulai dari yang dekat dulu. Pilih rute weekend, latihan packing minimalis, dan biasakan tidur di penginapan sederhana. Bawa tas yang nyaman; tas besar bukan jaminan hemat karena kamu akan tergoda bawa barang banyak. Buat daftar barang wajib: pakaian yang cepat kering, obat pribadi, powerbank, senter kecil, kantong plastik untuk barang basah, dan dokumen penting fotokopi.
Keamanan itu penting. Simpan uang di beberapa tempat, informasikan keluarga lokasi singkat, dan hati-hati dengan barang berharga saat naik transportasi umum. Hormati adat setempat: berpakaian sopan di desa adat, jangan sembarangan foto orang tanpa izin, dan tanyakan aturan lokal saat berkemah atau membuat api unggun.
Terakhir: fleksibilitas adalah kunci. Kadang rencana berubah — kapal telat, cuaca jelek, homestay penuh. Nikmati itu. Beberapa pengalaman terbaikku justru muncul dari rencana yang tak sempurna. Backpacking hemat bukan hanya soal menekan pengeluaran, tapi soal belajar kreatif, beradaptasi, dan membuka ruang untuk pengalaman yang lebih otentik.